KADEMANGAN, Radar Bromo – Melesatnya harga cabai rawit sepanjang Februari lalu berpengaruh kecil terhadap inflasi Kota Probolinggo. Jika pada Januari cabai rawit merupakan komoditas penyumbang inflasi tertinggi, bulan kemarin angka inflasinya justru turun.
“Meski harga cabai rawit di bulan Februari naik tinggi, tapi yang diukur adalah selisih rata-rata harga dari N-1. Selisih harga pada Februari dengan Januari lebih kecil daripada selisih harga bulan Januari-Desember,” ujar Kasi Statistik dan Distribusi Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Probolinggo Moch. Machsus, Senin (1/3).
Machsus mencontohkan, jika harga cabai rawit pada Desember Rp 10 ribu, kemudian pada Januari naik menjadi Rp 100 ribu per kilogram, jelas pengaruhnya terhadap inflasi sangat besar. Namun ketika pada Februari harga rata-rata cabai rawit naik menjadi Rp 120 ribu per kilogram, maka selisihnya lebih kecil.
“Jika selisih harga sebelumnya Rp 90 ribu, kemudian pada bulan Februari selisih hanya Rp 20 ribu per kilogram, maka pengaruhnya terhadap inflasi juga turun jika dibandingkan sebelumnya,” jelasnya.
Saat ini harga cabai rawit di pasaran Kota Probolinggo masih cukup tinggi. Rata-rata berkisar Rp 70 ribu per kilogram. Berdasarkan data BPS Kota Probolinggo, pada Februari cabai rawit masih masuk 10 besar komoditas penyumbang inflasi. Komoditas ini menyumbang 0,0131 persen dari inflasi Kota Probolinggo.
Inflasi Kota Probolinggo, pada Februari, juga turun dari 0,28 persen pada Januari menjadi 0,05 persen pada Februari. Sementara itu, kelompok penyediaan makanan dan minuman atau restoran menyumbang inflasi cukup signifikan, sebesar 0,66 persen. Komoditasnya disumbang dari bakso dan kopi siap saji.
“Yang dimaksud bakso ini adalah bakso di warung-warung. Kalau kopi siap saji di warung. Artinya, kegiatan usaha makanan yang menyediakan warung dan kopi siap saji. Namun, ada bakso yang masuk kelompok makanan, minuman, tembakau. Bakso ini adalah bakso yang dijual dalam bentuk frozen,” jelas Machsus. (put/rud)