Nenek-nenek itu mengaku senang. Hanya dalam beberapa jam, mereka dapat uang jutaan rupiah. Kulit keriput. Badan basah kuyup. Tubuh menggigil akibat kedinginan. Wajah pucat. Semua itu bukan masalah. Begitulah video yang viral di aplikasi TikTok. Para lansia rela diguyur air dingin atau mandi lumpur. Demi cuan.
Fenomena itu memperlihatkan betapa inginnya mereka memperoleh rezeki dengan mudah. Sebenarnya, mirip-mirip saja dengan kreasi lain yang tidak kalah viral dan fenomenal. Pamer paha. Pamer dada. Pamer bokong. Kerlingan mata genit dan goyang gemulai yang mengundang birahi sudah viral lebih dulu. Eksplorasi seksual.
Pemerintah risau. Di tengah upaya ngotot untuk menurunkan angka-angka kemiskinan, menyentak fenomena ”mengemis online” lewat aplikasi. Para kreator memproduksi macam-macam konten. Mandi air dingin, mandi lumpur, guyur air nenek-nenek. Pemerannya perempuan dan lansia. ”Sutradara” video itu pun keluarga sendiri. Mereka dicap telah menjadi pengemis online. Mengeksploitasi penderitaan.
Mengapa ”mengemis online” itu mengundang reaksi begitu tegas? Kementerian Sosial (Kemensos) menilai telah terjadi eksploitasi di situ. Perilaku aniaya terhadap lansia yang seharusnya dihormati. Nenek yang wajib dimuliakan. Istri yang mesti dilindungi. Para perempuan terhormat itu adalah pemegang peran besar bagi generasi.
Kemensos pun menerbitkan Surat Edaran No. 2 Tahun 2023 tentang Penertiban Kegiatan Eksploitasi dan/atau Kegiatan Mengemis yang Memanfaatkan Lanjut Usia, Anak, Penyandang Disabilitas, dan/atau Kelompok Rentan Lainnya. Kepala-kepala daerah diminta melindungi mereka dari cara-cara eksploitatif tersebut. Kalau perlu, segera laporkan pelakunya ke Polri dan Satuan Polisi Pamong Praja.
Sosiolog berpendapat, ”pengemis online” berupaya menarik perhatian dan meminta belas kasihan agar diberi sesuatu. Ada kreativitas. Mengemis tidak semudah dulu. Sekarang semakin kompetitif karena harus bermodal peralatan mahal. Ide-ide cemerlang. Agar mampu menarik simpati, empati, dan uang berjeti-jeti.
Itulah yang disoroti. Sebab, di balik video penderitaan lansia itu, ada anak-anak muda yang tersenyum. Mereka mengeruk hasil. Menyakiti orang, tapi merasa kreatif. Di seberang layar ponsel dan perangkat digital lain, ada juga penonton yang merasa terhibur melihat orang lain menderita. Penderitaan menjadi komoditas. Semakin menderita, kian bergelimang hadiah. Orang-orang ”kaya” menyaksikannya sambil tertawa.