29.6 C
Probolinggo
Sunday, June 4, 2023

Pinjam ke Rentenir Rp 3 Juta, Kembalikannya Bisa Rp 11 Juta

PASURUAN, Radar Bromo- Dibenci tapi dinanti. Itulah gambaran yang tepat bagi para rentenir di mata sebagian masyarakat. Kemudahan mendapat pinjaman dana, menjadi yang dinanti-nanti. Namun, bila sudah terlilit bunganya, pasti akan terus menghindari.

Meski kini sudah ada pinjaman online (Pinjol) atau nama kerennya Financial Technologie (Fintech), praktik rentenir konvensional masih sering ditemui. Terutama di pasar tradisional. Hampir di semua pasar tradisional di Kota Pasuruan, bisa ditemui setiap hari. Sasaran mereka adalah pedagang. Tak sedikit pedagang yang terlilit, hingga perekonomian mereka terganggu.

Seperti yang diutarakan Ketua Dekopin Kota Pasuruan Sabilal Rasyad. Pembiayaan rentenir biasanya diberikan dengan kesepakatan bunga yang tak sedikit. Beberapa pedagang di Pasar Kebonagung menjadi korban cengkeraman rentenir.

Satu di antaranya yakni pemilik warung di pasar itu. Saking tak sanggupnya membayar cicilan utang, dia sampai berhenti berjualan. “Karena tiap hari didatangi bank titil (sebutan lain rentenir, Red). Akhirnya warungnya tutup, ditinggal pergi,” kata seorang pedagang yang enggan disebut namanya.

Masih dalam keadaan terlilit utang, pemilik warung itu tak jelas juntrungannya hingga saat ini. “Sudah dua bulan nggak jualan, nggak tahu ke mana,” tambah pedagang lain.

Beberapa pedagang di sekitar warung itu juga tahu, bahwa pemilik warung itu mulanya meminjam dana sekitar Rp 3 juta. Duit itu bakal dijadikan tambahan modal usaha. Tetapi, utang belum lunas. Bunga terus membengkak. Total duit yang harus dia kembalikan semakin beranak-pinak. Hingga belasan juta. Kenyataan getir itulah yang membuatnya tak lagi berjualan. Tak sanggup melunasi bunga-bunga pinjamannya yang semakin hari semakin menusuk ulu hati.

Plt Kepala UPT Pasar di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Pasuruan Ridho Wijaya menyampaikan, kredit perorangan atau rentenir itu juga kerap menyasar pedagang pasar. Petugas penarik retribusi, kata Ridho, bahkan seringkali harus kejar-kejaran dengan  para rentenir yang menagih cicilan utang pedagang.

Baca Juga:  Pencopotan 2 Pejabat Mendadak, Dewan Klarifikasi Pemkot

“Kejar-kejaran itu dalam artian pedagang lebih dulu ditarik cicilannya. Sehingga, mereka enggan bayar retribusi karena uangnya terpakai untuk bank titil,” kata Ridho.

Meski terlihat sepele, fenomena menyeruaknya rentenir atau bank titil yang menyasar pedagang pasar itu juga berimbas pada penerimaan retribusi. Pembayaran retribusi menjadi terhambat. Lama-lama pedagang menunggak retribusi. “Akhirnya jadi piutang retribusi daerah. Dampaknya pada penerimaan PAD,” tuturnya.

Ironisnya, kata Ridho, para rentenir itu justru berkedok Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Tapi di lapangan, yang diterapkan hanya pinjaman saja. “Kedoknya koperasi, tapi teknisnya mereka itu lintah darat. Maka harus diberantas. Harapan saya ada saber bank titil,” tandasnya. (tom/fun)

 

Dapat Komisi bila Jadi Makelar

 

MENGAPA praktik rentenir konvensional masih bertahan sampai saat ini? Tentu saja ini berkaitan dengan uang. Lembaga atau perorangan yang memberi pinjaman, juga punya cara untuk menarik pasarnya. Mulai mendatangi langsung sasaran dengan mengimingi bermacam kemudahan pinjaman, merayu, hingga melipatgandakan pinjaman bila si peminjam lancar dalam membayar.

Namun, siapa sangka ternyata tak sedikit dari para rentenir justru menjadi jembatan yang lain untuk pula meminjam uang. Mereka memberi ruang orang untuk menjadi “makelar” bank titil.

Seperti yang dilakukan pedagang berinisial SR, 57. Ia mengaku sudah beberapa kali “membantu” teman-temannya untuk meminjamkan uang di bank titil langganannya. Jika ada kawannya yang meminjam, SR akan mendapat komisi atau persenan dari temannya tersebut.

“Jumlahnya tak banyak. Sukarela saja. Lha wong saya niatnya juga membantu yang lagi kesulitan uang,” ungkap SR.

Baca Juga:  Waduh, Ada 3 Persen Lebih Warga Kota Pasuruan Terjerat Rentenir

Untuk menjadi penghubung seperti SR, tentunya tidaklah gampang. Pastinya banyak risiko yang harus ia terima. Mulai soal kepercayaan terhadap si pemberi pinjaman, hingga bisa memutus silaturahmi antarteman.

Pernah sekali ia menolong temannya yang kesusahan dan lagi butuh uang. Dia mengenalkannya dengan rentenir. Tapi, di tengah jalan, teman SR sering nunggak cicilan. Alhasil, SR lah yang terus jadi sasaran. Pasalnya, pembayaran cicilan tersebut masih atas nama dia. Tidak langsung ke rentenir.

Alhasil, dia harus menanggung beban cicilan tersebut. Sejak saat itulah dia lebih memilih menjadi perantara saja lantaran jauh dari risiko.

Biasanya, menurut SR, orang yang datang ke dia untuk minta bantuan meminjamkan, ada bermacam gaya. “Ono sing nangis-nangis. Onok sing ngrayu. Terus onok sing loman. Moro-moro ngekei gedang sakcengke. Ngekei iwak asin sak kresek, onok sing mijit-mijite sikil ambek pundakku ngene. Macam-macam pokoke. Jenenge konco nggelok ngunu yo gak tego,” kata SR dengan logat pendalungan yang cukup medok tersebut.

Meski SR adalah pedagang kecil, tapi dia mengaku sudah lebih lima tahun hidup dengan meminjam uang untuk perputaran uang dagang. Bagusnya lagi, ia malah mengaku sangat dipercaya oleh para peminjam saat ia membutuhkan.

SR mengaku dalam sehari ada tiga tukang tagih berbeda yang datang menagih uang cicilannya. Itu, lantaran ia betul-betul menjaga amanah dalam hal membayar utang. Karena menurutnya, utang apapun bentuknya hukumnya wajib dibayar. Apalagi saat meminjam, ia mengaku tak jarang disumpah terlebih dulu untuk tidak nakal, tepat janji dalam membayar cicilan. (ube/fun)

PASURUAN, Radar Bromo- Dibenci tapi dinanti. Itulah gambaran yang tepat bagi para rentenir di mata sebagian masyarakat. Kemudahan mendapat pinjaman dana, menjadi yang dinanti-nanti. Namun, bila sudah terlilit bunganya, pasti akan terus menghindari.

Meski kini sudah ada pinjaman online (Pinjol) atau nama kerennya Financial Technologie (Fintech), praktik rentenir konvensional masih sering ditemui. Terutama di pasar tradisional. Hampir di semua pasar tradisional di Kota Pasuruan, bisa ditemui setiap hari. Sasaran mereka adalah pedagang. Tak sedikit pedagang yang terlilit, hingga perekonomian mereka terganggu.

Seperti yang diutarakan Ketua Dekopin Kota Pasuruan Sabilal Rasyad. Pembiayaan rentenir biasanya diberikan dengan kesepakatan bunga yang tak sedikit. Beberapa pedagang di Pasar Kebonagung menjadi korban cengkeraman rentenir.

Satu di antaranya yakni pemilik warung di pasar itu. Saking tak sanggupnya membayar cicilan utang, dia sampai berhenti berjualan. “Karena tiap hari didatangi bank titil (sebutan lain rentenir, Red). Akhirnya warungnya tutup, ditinggal pergi,” kata seorang pedagang yang enggan disebut namanya.

Masih dalam keadaan terlilit utang, pemilik warung itu tak jelas juntrungannya hingga saat ini. “Sudah dua bulan nggak jualan, nggak tahu ke mana,” tambah pedagang lain.

Beberapa pedagang di sekitar warung itu juga tahu, bahwa pemilik warung itu mulanya meminjam dana sekitar Rp 3 juta. Duit itu bakal dijadikan tambahan modal usaha. Tetapi, utang belum lunas. Bunga terus membengkak. Total duit yang harus dia kembalikan semakin beranak-pinak. Hingga belasan juta. Kenyataan getir itulah yang membuatnya tak lagi berjualan. Tak sanggup melunasi bunga-bunga pinjamannya yang semakin hari semakin menusuk ulu hati.

Plt Kepala UPT Pasar di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Pasuruan Ridho Wijaya menyampaikan, kredit perorangan atau rentenir itu juga kerap menyasar pedagang pasar. Petugas penarik retribusi, kata Ridho, bahkan seringkali harus kejar-kejaran dengan  para rentenir yang menagih cicilan utang pedagang.

Baca Juga:  Debt Collector Emak-Emak Lebih Seram ketimbang Pria

“Kejar-kejaran itu dalam artian pedagang lebih dulu ditarik cicilannya. Sehingga, mereka enggan bayar retribusi karena uangnya terpakai untuk bank titil,” kata Ridho.

Meski terlihat sepele, fenomena menyeruaknya rentenir atau bank titil yang menyasar pedagang pasar itu juga berimbas pada penerimaan retribusi. Pembayaran retribusi menjadi terhambat. Lama-lama pedagang menunggak retribusi. “Akhirnya jadi piutang retribusi daerah. Dampaknya pada penerimaan PAD,” tuturnya.

Ironisnya, kata Ridho, para rentenir itu justru berkedok Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Tapi di lapangan, yang diterapkan hanya pinjaman saja. “Kedoknya koperasi, tapi teknisnya mereka itu lintah darat. Maka harus diberantas. Harapan saya ada saber bank titil,” tandasnya. (tom/fun)

 

Dapat Komisi bila Jadi Makelar

 

MENGAPA praktik rentenir konvensional masih bertahan sampai saat ini? Tentu saja ini berkaitan dengan uang. Lembaga atau perorangan yang memberi pinjaman, juga punya cara untuk menarik pasarnya. Mulai mendatangi langsung sasaran dengan mengimingi bermacam kemudahan pinjaman, merayu, hingga melipatgandakan pinjaman bila si peminjam lancar dalam membayar.

Namun, siapa sangka ternyata tak sedikit dari para rentenir justru menjadi jembatan yang lain untuk pula meminjam uang. Mereka memberi ruang orang untuk menjadi “makelar” bank titil.

Seperti yang dilakukan pedagang berinisial SR, 57. Ia mengaku sudah beberapa kali “membantu” teman-temannya untuk meminjamkan uang di bank titil langganannya. Jika ada kawannya yang meminjam, SR akan mendapat komisi atau persenan dari temannya tersebut.

“Jumlahnya tak banyak. Sukarela saja. Lha wong saya niatnya juga membantu yang lagi kesulitan uang,” ungkap SR.

Baca Juga:  Bocah Asal Malang Tewas usai Motor yang Dikemudikan Ibunya Tabrak Truk Parkir

Untuk menjadi penghubung seperti SR, tentunya tidaklah gampang. Pastinya banyak risiko yang harus ia terima. Mulai soal kepercayaan terhadap si pemberi pinjaman, hingga bisa memutus silaturahmi antarteman.

Pernah sekali ia menolong temannya yang kesusahan dan lagi butuh uang. Dia mengenalkannya dengan rentenir. Tapi, di tengah jalan, teman SR sering nunggak cicilan. Alhasil, SR lah yang terus jadi sasaran. Pasalnya, pembayaran cicilan tersebut masih atas nama dia. Tidak langsung ke rentenir.

Alhasil, dia harus menanggung beban cicilan tersebut. Sejak saat itulah dia lebih memilih menjadi perantara saja lantaran jauh dari risiko.

Biasanya, menurut SR, orang yang datang ke dia untuk minta bantuan meminjamkan, ada bermacam gaya. “Ono sing nangis-nangis. Onok sing ngrayu. Terus onok sing loman. Moro-moro ngekei gedang sakcengke. Ngekei iwak asin sak kresek, onok sing mijit-mijite sikil ambek pundakku ngene. Macam-macam pokoke. Jenenge konco nggelok ngunu yo gak tego,” kata SR dengan logat pendalungan yang cukup medok tersebut.

Meski SR adalah pedagang kecil, tapi dia mengaku sudah lebih lima tahun hidup dengan meminjam uang untuk perputaran uang dagang. Bagusnya lagi, ia malah mengaku sangat dipercaya oleh para peminjam saat ia membutuhkan.

SR mengaku dalam sehari ada tiga tukang tagih berbeda yang datang menagih uang cicilannya. Itu, lantaran ia betul-betul menjaga amanah dalam hal membayar utang. Karena menurutnya, utang apapun bentuknya hukumnya wajib dibayar. Apalagi saat meminjam, ia mengaku tak jarang disumpah terlebih dulu untuk tidak nakal, tepat janji dalam membayar cicilan. (ube/fun)

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru