SIANG itu, LN, 25, baru selesai melayani tamunya. Di sebuah rumah semiwarung berdinding gedek. Lelaki yang menjadi tamunya baru saja pamit pergi. Mengendarai sebuah motor Honda Beat warna putih biru.
Masih muda, berkulit kuning langsat. Dengan rambut diikat sederhana. Di usianya yang masih muda, sudah beberapa tahun LN menggeluti bisnis esek-esek.
Alasannya, lelaki yang menjadi sandaran harapannya berkhianat. Menikah di usia muda saat umurnya masih 14 tahun, rumah tangganya yang berbuah dua anak hanya bertahan 6 tahun. Saat usia 20 tahun, dia pun cerai.
“Sekitar tahun 2016 saya cerai. Suami lari demi perempuan lain. Anak dua. Satu masih kecil dan satu sekolah umur 12,” ujarnya.
Sejak saat itu, LN harus pontang-panting menafkahi keluarganya. Dua anak dan ibu yang ikut bersamanya. Sementara ayahnya meninggal beberapa tahun sebelum LN cerai. LN, bahkan sempat bekerja cukup jauh dari desanya.
“Sempat bekerja di tempat yang bener. Jaga toko beberapa kali. Dapat gaji tiap bulan,” ujar wanita lulusan SD tersebut.
Namun, selalu ada rasa kurang dalam benak LN. Tidak puas. “Tidak cukup, gajinya hanya Rp 700 ribu,” katanya.
Saat itulah tebersit dalam hatinya bekerja sebagai pemuas nafsu lelaki. Maka, dia pun mendatangi sebuah warung di Jalur Pantura di Kabupaten Probolinggo. “Akhirnya langsung datang ke sini untuk bekerja (menjadi PSK, Red),” ujarnya.
Selama bekerja di warung itu, tiap hari LN melayani maksimal empat lelaki. Namun, saat sepi kadang hanya satu tamu dilayaninya. Kadang juga tidak ada sama sekali. Karena itu, penghasilannya tidak menentu.
“Tarifnya Rp 100 ribu sekali datang. Yang Rp 15 ribu saya beri ke pemilik warung,” ujarnya.
Terjerembab ke dunia prostitusi karena dikecewakan lelaki, juga menjadi alasan FH, 26. Dia kini hidup sendirian. Indekos di sebuah rumah di sekitar jalur pantura, Kabupaten Probolinggo.
“Pernikahan yang diharapkan seindah sinetron, berakhir dengan kekecewaan. Mantan suami lari keluar negeri bersama wanita lain,” ujarnya.
Berbeda dengan LN, wanita dengan tinggi sekitar 163 sentimeter ini tidak dikarunia anak. “Nikah tahun 2013. Cerai dua tahun berikutnya dan belum punya anak,” ujar anak pertama dari dua bersaudara tersebut.
Lima tahun setelah bercerai, sakit hati akibat dikhianati suami masih membekas. Ditambah pergaulan bebas yang dijalaninya sejak SMP. Akhirnya, FH pun jatuh ke dunia esek-esek. Terhitung, sudah tiga tahun perempuan berkulit putih itu bekerja sebagai pemuas nafsu para lelaki.
“Sejak SMP kelas 3 sudah tidak tingting (perawan, Red). Suami juga sama-sama nakal dulunya. Saat memutuskan menikah, kami sepakat saling setia dan mengubur masa lalu. Namun, janji hanyalah janji. Dia kabur dengan wanita lain,” ujarnya.
Berbeda dengan LN yang hanya bekerja di warung. FH tidak demikian. Dia juga melayani panggilan online atau yang biasa disebutnya dengan freeline.
Dengan memanfaatkan sebuah aplikasi, dia “menjajakan” diri dengan tarif lebih tinggi. Sekali main Rp 500 ribu. Namun, bisa ditawar. Minimal Rp 300 ribu, FH mau menerima.
“Tapi, tidak selalu ada. Itu pun juga milih-milih. Biasanya yang kenal atau teman dari kenalan saya. Baru saya mau. Jadi tidak sembarangan. Saya takut dibohongi,” ujarnya.
Dalam sehari, FH juga bisa melayani maksimal empat tamu. Namun, jumlah tamu yang datang tidak tetap setiap harinya.
Meski demikian, baik LN maupun FH sejatinya memiliki keinginan untuk dapat pekerjaan layak. Namun, rasa pesimistis dan usaha yang tidak maksimal sering mematahkan semangat keduanya.
FH pesimistis tidak bisa mendapat pekerjaan layak dan halal. Sebab, dirinya diakuinya tidak memiliki bakat atau kemampuan lain.
“Jika memang ada (pekerjaan, Red) saya mau. Tapi hasilnya (gaji, Red) harus sama dengan sekarang,” ujar perempuan yang juga lulusan SD ini.
Selama belum ada pekerjaan lain, LN dan FH memilih bertahan dengan dunianya sekarang. Tentu saja, itu jadi rahasia mereka. Tidak ada satu keluarga pun yang tahu pekerjaan mereka sebenarnya.
“Ya kalau tahu, bukan hanya dimarahi. Bisa-bisa dimusuhi seumur hidup. Saya mengaku kerja di konter HP,” tutur FH. (mu/hn)