PASURUAN, Radar Bromo –Mantan pejabat Pemkot Pasuruan Dwi Fitri Nurcahyo masih menjalani hukuman di tengah upaya hukum pengajuan kembali (PK) yang ditempuh. Hingga saat ini, terpidana lima tahun kasus korupsi tersebut masih menanti putusan Mahkamah Agung (MA) RI terkait upaya PK yang diajukan.
Obby Taloim, penasihat hukum mantan Kepala Dinas PUPR itu membeberkan sejumlah alasan kliennya menempuh PK. Antara lain, karena putusan hakim bertentangan dengan putusan dalam perkara kliennya. Dalam hal ini, putusan yang dimaksud Obby yakni putusan kasasi Nomor 3781 K/pid.sus/2019 dengan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya Nomor 34/pid.sus-tpk/2019/pn.sby.
”Putusan nomor 3781 K adalah putusan MA yang mengabulkan kasasi Pak Yon (Setiyono, Red). Putusan ini menyatakan bahwa Pengadilan Tipikor Surabaya telah salah dalam menerapkan hukum, yaitu pasal 12 B UU Tipikor,” katanya.
Dalam putusan kasasinya, mantan Wali Kota Pasuruan tersebut dijatuhi hukuman Pasal 11 UU Tipikor. Karena penerapan pasal itu, kemudian Setiyono dihukum dengan pidana yang lebih ringan. Yakni, 3 tahun 6 bulan.
Merujuk putusan MA tersebut, kata Obby, putusan terhadap kliennya yang divonis terbukti melakukan delik penyertaan pasal 12 B UU Tipikor, akhirnya menjadi kabur. “Karena pelaku utama penyertaan dalam perkara ini yaitu Pak Yon (Setiyono, red). Dan Pak Yon dinyatakan terbukti oleh MA sesuai pasal 11 UU Tipikor,” katanya.
Sementara, Obby menyebut posisi kliennya dalam perkara itu tidak berdiri sendiri. Maka, seharusnya dengan adanya putusan kasasi terhadap Setiyono, permohonan PK yang diajukan Dwi Fitri Nurcahyo juga disesuaikan dengan delik penyertaan pasal 11 UU Tipikor.
“Contoh sederhananya begini, klien kami terbukti fakta hukumnya diajak Pak Yon naik pesawat Garuda dan bersama naik satu pesawat. Tapi, kata MA, fakta hukumnya yang terbukti adalah Pak Yon naik pesawat Citilink, bukan Garuda. Maka pertanyaannya, klien kami ikut pesawat yang mana sebenarnya?” katanya.