Muzammil Syafi’i merupakan satu di antara sekian banyak politisi yang lahir dari rahim pesantren. Kehidupannya sebagai santri membawa pengaruh yang sangat kental dalam menapaki karir politiknya. Mulai semasa menjadi wakil bupati Pasuruan hingga anggota DPRD Jawa Timur sekarang.
———————————————————————————————–
SALAH satu hal yang didapatkan Muzammil selama menimba ilmu di pesantren adalah sebuah pengabdian. Ia memegang prinsip sebuah penggalan hadis terkenal. Khairunnas anfauhum linnas, yang berarti, ‘sebaik-baiknya manusia adalah yang memberi manfaat bagi manusia lainnya’.
“Jadi dekat dengan masyarakat, memahami persoalan yang mereka hadapi dan mencarikan solusi, itulah bentuk pengabdian,” kata Buya Muzammil, sapaannya.
Tak heran bila sejak muda, Muzammil berkecimpung dalam berbagai aktivitas kemasyarakatan. Selepas nyantri di Ponpes Roudlotul Maruf Alhasaniyah Kota Pasuruan, ia menggeluti dunia organisasi. Ketika berusia 24 tahun, terpilih sebagai ketua IP NU Kabupaten Pasuruan.
Sebagai kader Nahdlatul Ulama (NU), Muzammil juga memiliki kedekatan dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai berlambang Kakbah ini merupakan hasil fusi dari empat partai bercorak agama. Di antaranya, Partai NU. Pada Pemilu 1982, Muzammil hendak dicalonkan sebagai anggota DPRD Kota Pasuruan. Namun, kandas di tengah jalan.
Setahun menjelang pemilihan, sejumlah tokoh di Kota Pasuruan ingin memisahkan diri dengan Kabupaten Pasuruan. Maka, didirikanlah DPC PPP Kota Pasuruan. Muzammil yang lebih aktif di kabupaten, tersingkir. Namanya hilang dari daftar calon legislatif.
Setelah 1983, Muzammil menepi dari dunia politik. Memilih berkonsentrasi dengan profesinya sebagai pengacara. Profesi ini juga dianggap sebuah pengabdian. Tak pernah memasang tarif honor dari kliennya.