Era transportasi online cukup memukul transportasi konvensional seperti angkutan kota (angkot). Pandemi yang datang sampai kini belum beralih, kian membawa dampak terhadap angkot. Di Kota Pasuruan, angkot semakin sepi peminat. Tak jarang sopir angkot harus pulang tanpa membawa hasil.
——————
MOBIL berwarna biru muda berjejer tidak beraturan di sisi selatan dalam areal pasar Kebonagung, Kota Pasuruan. Pintu dan jendela di bagian depan dan tengah pada kendaraan roda empat itu juga dibiarkan tertutup rapat. Tempat duduk bagi sopir dan penumpang pun kosong.
Begitulah pemandangan yang sering terjadi di Subterminal Kebonagung, Kota Pasuruan. Tempat mangkal bagi angkot di Kota Pasuruan tersebut, sehari-harinya sepi dan jarang berfungsi. Hanya tampak dua atau tiga kendaraan yang standby di lokasi itu.
Sopir yang ngetem di sana, tampak santai. Mereka sudah percaya bahwa rezeki ada yang mengatur. Jika ada penumpang, mereka akan narik. Jika tak ada, ya mereka menunggu.
Seperti yang dilakukan Suyitno. Pria yang usianya separo abad tersebut, terlihat duduk sendirian. “Sekarang angkot tambah sepi. Sebelum pandemi memang sudah menurun peminatnya. Apalagi dalam kondisi seperti ini. Sekarang banyak sopir yang memilih tidak menarik angkot sehari-harinya,” ungkap Suyitno saat ditemui.
Pria asal Desa Warungdowo, Kecamatan Pohjentrek, Kabupaten Pasuruan itu mengaku, kesehariannya ia adalah sopir angkot line A1. Tapi ia tidak selalu menarik angkot. Ia hanya beroperasi saat Senin hingga Sabtu. Sementara Minggu, ia memilih untuk libur karena tidak banyak masyarakat yang mau naik angkot saat akhir pekan.
Saat hari aktif, angkotnya juga tidak pernah penuh. Dalam satu kali rute pulang pergi (PP) maksimal ia hanya membawa penumpang lima orang saja. Mayoritas mereka adalah siswa dan wanita yang hendak ke pasar. Sehingga rata-rata ia hanya membawa pulang uang Rp 30 sampai Rp 35 ribu sehari.