Pembuat warangan atau penutup keris makin jarang saat ini. Walaupun penghobi keris masih tetap eksis. Salah Satu yang bertahan membuat warangan itu adalah Joni Suntoro. Lelaki 67 tahun asal Pandaan.
BUKAN setahun dua tahun Joni Suntoro menekuni kerajinan membuat warangan keris. Lelaki 67 tahun itu mulai membuat warangan pada tahun 1990-an. Dan hingga kini, di bertahan dengan profesinya itu.
Ratusan warangan pun sudah dibuatnya. Saking banyaknya, Ginsung –panggilannya–, sampai lupa sudah berapa warangan yang dia buat sejak tahun 1990-an sampai sekarang.
Meski demikian, membuat warangan bagi bapak dua anak ini sebenarnya bukan profesi utama. Suami dari Sumakiyah itu sebenarnya seorang pelukis, pematung, dan pembuat miniatur candi.
Sementara membuat warangan dilakoninya sebagai sampingan. Namun, toh Ginsung tidak bisa seenaknya membuat warangan. Dia harus paham betul pakem beragam keris. Sehingga, tidak malah menyalahi pakem saat membuat warangan.
“Membuat warangan sebenarnya hanya sambilan. Selama ini saya lebih sering membuat patung, miniatur candi, dan melukis,” beber warga Lingkungan Kasri, Kelurahan Petungasri, Kecamatan Pandaan, Kabupaten Pasuruan ini.
Perkenalan Ginsung dengan warangan pun tidak disengaja. Pada tahun 1990-an, ia punya sebilah keris. Namun, keris itu didapatnya tanpa warangan.
Maka, dia pun datang ke Pasar Turi di Surabaya untuk memesan warangan di sebuah toko pembuat warangan. Toko itu milik Dollah, lelaki asal Madura. Dollah pula yang membuat warangan pesanan konsumen.
Melihat keahlian Dollah membuat warangan, dia pun kepincut dan penasaran. Maka, sepulang dari Pasar Turi, Ginsung pun langsung praktik membuat warangan di rumahnya.
“Waktu di Pasar Turi, saya perhatikan caranya Pak Dollah membuat warangan. Lalu sampai di rumah saya langsung praktik buat sendiri,” katanya.
Butuh berulang kali bagi Ginsung untuk praktik membuat warangan. Hingga akhirnya dia merasa puas dengan warangan buatannya. Maka sejak saat itu, Ginsung pun menjadi perajin warangan.
“Dari sana saya paham bahwa yang paling penting dalam membuat warangan yaitu harus tahu pakem beragam keris. Baik asal daerah, motif, maksud, dan masih banyak lainnya,” ucapnya.
Biasanya, warangan yang ia buat berasal dari kayu beragam jenis. Seperti awar-awar, galih jati, sono keling, mentaus, dan masih banyak lainnya.

Awalnya, kayu dibor dan dibentuk sesuai dengan keris aslinya. Lalu, bagian luar warangan diukir. Bisa juga ditambah sejumlah aksesori pendukung. Setelah jadi, kayu digosok hingga halus. Berikutnya diplitur biar mengkilap, bagus, dan awet.
“Kuncinya harus telaten dan sabar. Satu warangan untuk membuatnya butuh waktu 4 sampai 7 hari. Tergantung tingkat kesulitan, bentuk, dan ukuran,” tambahnya.
Ginsung sendiri tidak menjual warangan buatannya ke pasar. Dia hanya melayani pesanan dari teman, kenalan, kolega, dan relasinya.
Sebab, sejatinya membuat warangan dilakukannya untuk menyalurkan hobi. Bukan merupakan pekerjaan utamanya.
Warangan karyanya itu dijualnya dengan harga beragam. Paling murah Rp 250 ribu untuk satu warangan. Termahal bisa sampai Rp 750 ribu hingga Rp 1 juta.
Ginsung pun berkeinginan terus membuat warangan. Selagi masih mampu melakukannya. Selain untuk membantu mereka yang membutuhkan, juga untuk menyalurkan hobinya. (riz/hn)