29.5 C
Probolinggo
Thursday, June 1, 2023

Cerita Warga Karangpandan Rejoso Lestarikan Pencak Silat

Pencak merupakan salah satu kesenian yang memunculkan gerak bela diri. Di Karangpandan, Rejoso, Kabupaten Pasuruan, sebuah perguruan masih merawat budaya itu. Ajarannya diwariskan turun-temurun. Selain menjaga kearifan lokal, juga menjadi tameng generasi muda agar tak salah pergaulan.

MUHAMAD BUSTHOMI, Rejoso, Radar Bromo

SIANG yang gerah itu terasa sedikit teduh oleh rindangnya pohon sengon raksasa. Jati dan beberapa pohon mahoni menggesek-gesekkan dahan, ranting dan daunnya yang ditampar angin. Sudarsono duduk di atas lincak ditemani beberapa muridnya saat berbincang dengan Jawa Pos Radar Bromo, pekan lalu.

Di tempat itulah dia melatih murid-muridnya. Di sebuah tanah lapang yang dikelilingi pekarangan, murid-murid Sudarsono berlatih dua kali dalam sepekan.

Baca Juga:  Berkunjung ke Kampung Sagu di Desa Duren Kecamatan Gading

Anak-anak yang masih SD, biasanya dilatih pukul 21.00 sampai 22.00. Dilanjutkan dengan murid-murid Sudarsono yang lebih senior. Mereka biasanya berlatih hingga pukul 02.00.

Sudarsono sendiri belajar pencak dari Kamarun, ayahnya. Sejak masih SD, dia menekuni gerakan-gerakan dalam ilmu bela diri lokal itu. Dia sendiri tak tahu persis dari mana ayahnya memiliki kelihaian bela diri. Yang dia tahu, ayahnya menyerap ilmu bela diri itu dari beberapa tempat. Antara lain di Bangil, Gondangwetan, dan Pasuruan.

Pencak yang kini diajarkan Sudarsono ke anak-anak desa, kerap disebut dengan pencak Cimande. Tapi sebenarnya, Cimande merupakan istilah salah satu jurus yang diajarkan.

Perguruan pencak itu sendiri dinamai Padepokan Naga Emas yang juga diwariskan Sudarsono dari ayahnya. “Saya sendiri tidak pernah belajar keluar. Hanya dari bapak itu saja,” kata dia.

Baca Juga:  Ini Sosok di Balik Rindangnya Pantai Bahak Tongas

Pencak merupakan salah satu kesenian yang memunculkan gerak bela diri. Di Karangpandan, Rejoso, Kabupaten Pasuruan, sebuah perguruan masih merawat budaya itu. Ajarannya diwariskan turun-temurun. Selain menjaga kearifan lokal, juga menjadi tameng generasi muda agar tak salah pergaulan.

MUHAMAD BUSTHOMI, Rejoso, Radar Bromo

SIANG yang gerah itu terasa sedikit teduh oleh rindangnya pohon sengon raksasa. Jati dan beberapa pohon mahoni menggesek-gesekkan dahan, ranting dan daunnya yang ditampar angin. Sudarsono duduk di atas lincak ditemani beberapa muridnya saat berbincang dengan Jawa Pos Radar Bromo, pekan lalu.

Di tempat itulah dia melatih murid-muridnya. Di sebuah tanah lapang yang dikelilingi pekarangan, murid-murid Sudarsono berlatih dua kali dalam sepekan.

Baca Juga:  Bangun Gedung BUMDes, Ini Tujuan Pemdes Kurung di Kecamatan Kejayan

Anak-anak yang masih SD, biasanya dilatih pukul 21.00 sampai 22.00. Dilanjutkan dengan murid-murid Sudarsono yang lebih senior. Mereka biasanya berlatih hingga pukul 02.00.

Sudarsono sendiri belajar pencak dari Kamarun, ayahnya. Sejak masih SD, dia menekuni gerakan-gerakan dalam ilmu bela diri lokal itu. Dia sendiri tak tahu persis dari mana ayahnya memiliki kelihaian bela diri. Yang dia tahu, ayahnya menyerap ilmu bela diri itu dari beberapa tempat. Antara lain di Bangil, Gondangwetan, dan Pasuruan.

Pencak yang kini diajarkan Sudarsono ke anak-anak desa, kerap disebut dengan pencak Cimande. Tapi sebenarnya, Cimande merupakan istilah salah satu jurus yang diajarkan.

Perguruan pencak itu sendiri dinamai Padepokan Naga Emas yang juga diwariskan Sudarsono dari ayahnya. “Saya sendiri tidak pernah belajar keluar. Hanya dari bapak itu saja,” kata dia.

Baca Juga:  Sunatan Masal Kekinian; Diajak Buat Pizza Dulu atau Main PS

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru