Gerabah pernah berada di masa keemasan. Saat perkakas dapur kebanyakan memanfaatkan tanah liat, gerabah pun laku keras. Namun, kini pasarnya terus berkurang. Warga perajin gerabah tidak lantas berhenti berproduksi. Mereka mencari cara lain agar nilai jual gerabah meningkat.
MUHAMAD BUSTHOMI, Gadingrejo, Radar Bromo
DIA masih juga duduk di dingklik kayu ketika matahari sudah berada di atas ubun-ubun. Dedaunan pohon yang cukup rimbun sedikit menghalangi sinar matahari yang sedang terik. Perempuan paruh baya itu membolak-balikkan cobek yang baru mentas dijemur. Mengamatinya secara pasti.
Sekali waktu tatapannya berhenti. Dia tak lagi membolak-balikkan cobeknya. Lalu mencolek dengan ujung jari telunjuknya adonan bata yang sudah dilebur menjadi serbuk dicampur lem. Secuil adonan itu diusapkan ke satu titik cobek yang bentuknya kurang rapi.
“Biasanya memang ada yang kurang rapi atau geripis, jadi perlu ditambal,” kata Juma’ati saat ditemui di tempatnya membuat gerabah, Senin (11/10).
Dia sudah terlalu akrab dengan gerabah. Perkakas dapur yang terbuat dari tanah liat atau lempung. Usaha itu ditekuni dari ibunya. Ibunya mewarisi usaha dari ibunya lagi. Juma’ati bahkan tak tahu pasti dia sudah generasi keberapa yang menekuni usaha membuat gerabah.
“Yang jelas sudah lama, turun-temurun. Kalau saya belajarnya dari ibu, dulu waktu masih kecil,” ujar perempuan berusia 60 tahun itu.
Tidak heran jika kampungnya di Kelurahan Randusari, Kecamatan Gadingrejo, Kota Pasuruan itu juga dikenal dengan sebutan kampung gerabah. Karena keberadaannya memang cukup dibutuhkan. Dulu, tidak sedikit warga yang membuat gerabah.