Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Pasuruan di Desa Carat, Gempol, Kabupaten Pasuruan, memiliki beberapa peneliti, juga perekayasa. Salah satunya Rian Pramudia Salasa yang fokus meneliti dan pengamatan kecerahan langit malam.
—————–
PERNAHKAN kita memperhatikan langit di malam hari? Mungkin kebanyakan dari kita jarang melakukannya. Andai pun iya, biasanya hanya di saat-saat tertentu. Misalnya, saat bulan sedang purnama atau saat mendung di malam hari.
Sementara Rian Pramudia Salasa melakukannya tiap hari. Dia memang salah seorang perekayasa di LAPAN Pasuruan. Fokusnya meneliti dan pengamatan kecemerlangan atau kecerahan langit malam. Atau lebih dikenal dengan istilah sky brightness.
Biasanya, Rian melakukan pengamatan 14 jam setiap harinya. Mulai sore menjelang matahari terbenam, hingga pagi hari saat matahari terbit esok harinya.
Menurutnya, pengamatan dan penelitian kecerahan langit malam sama pentingnya dengan pengamatan dan penelitian jenis lain. Seperti ozon, matahari, bulan, dan sebagainya. Walaupun memang, pengamatan dan penelitian kecerahan langit malam belum begitu dikenal oleh masyarakat luas.

Lelaki 34 tahun ini mengatakan, kecerahan langit malam dipengaruhi beberapa hal. Di antaranya, polusi udara dan polusi cahaya.
“Kecerahan langit malam diukur dengan bortle scale dari angka 1-9. Angka 1 sampai 5 berarti bagus. Angka 6 sampai 9 tidak bagus atau buruk,” terang bujangan asal Tabanan, Bali, ini.
Di wilayah Pasuruan, dataran tinggi dan pegunungan memiliki bortle scale 3-5 atau kecerahan langit bagus. Di perkotaan yang dekat dengan industri dan ramai kendaraan melintas, bortle scale 6-8. Artinya, kecerahan langit buruk.
Saat bortle scale 1-5, bintang akan terlihat jelas di langit. Lalu bortle scale 6-9, berarti berpolusi. Bisa polusi cahaya atau udara, tergantung daerahnya.
Mungkin banyak yang belum paham. Namun, kecerahan langit sangat berdampak pada kesehatan dan lingkungan. Pada kesehatan misalnya, sejumlah penelitian menemukan korelasi langsung antara polusi cahaya dengan kesehatan manusia. Seperti perubahan pola tidur, pengaruh terhadap stres dan depresi.
“Dari sisi kesehatan manusia, langit malam yang cerah di suatu daerah dapat mengindikasikan bahwa daerah tersebut memiliki kadar polusi udara yang tinggi,” terangnya.
Kecerahan langit juga berpengaruh pada ekologi, migrasi hewan seperti burung, semut, dan masih banyak lainnya. Polusi cahaya yang mempengaruhi kecerahan langit memberikan dampak pada ekologi.
Contohnya, perubahan pola perilaku hewan. Seperti perubahan pola migrasi burung, pola bertelur penyu, serangga, hingga siklus fotosintesis harian pada tumbuhan.
“Tumbuhan di perkotaan akan salah mengira langit malam yang cerah (berpolusi) sebagai senja atau fajar. Sehingga, tumbuhan tetap berfotosintesis pada malam hari. Burung juga bisa salah bermigrasi. Sebab, mengira langit merah oleh polusi cahaya sebagai daerah tujuan migrasi,” jelasnya.
Selain itu, kecerahan langit malam juga mempengaruhi maksimal atau tidaknya terhadap pengamatan antariksa. Dari sisi astronomi, langit yang cerah oleh polusi cahaya menghalangi pandangan ke antariksa. Sehingga susah atau tidak bisa melakukan penelitian dari daerah tersebut.
“Itulah mengapa di LAPAN Pasuruan ada pengamatan sekaligus penelitian kecerahan langit malam. Sebab, penelitian ini penting,” tuturnya.
Selama dua tahun sejak 2019, menurut Rian, pengamatan dan penelitian kecerahan langit malam dilakukan di dua titik dalam kompleks kantor LAPAN Pasuruan. Menggunakan alat sky quality meter (SQM) dan all sky camera (ASC).
“Hasil pengamatan berupa data angka atau biner, selanjutnya diteliti serta dianalisis sebulan sekali atau tiga bulan sekali, hingga enam bulan sekali. Kemudian diteruskan ke LAPAN pusat,” tutur pehobi traveling ini.
Lalu, selama dua tahun terakhir, tahun 2019–2020, pengamatan kecerahan langit malam dilakukan di kompleks kantor LAPAN Pasuruan. Namun, mulai tahun ini akan dilakukan di sejumlah kota di Jatim.
Dalam pelaksanaannya nanti, LAPAN Pasuruan tidak sendirian. Namun, bekerja sama dengan Kemenag Jatim dan instansi lain.
“Akhir pekan ini kami pengamatan kecerahan langit malam di Ponorogo, Tuban, dan Ngawi. Juga ke daerah lainnya seperti Situbondo, Banyuwangi, Malang,” katanya.
Rian sendiri sebenarnya memiliki latar belakang pendidikan ilmu komputer. Ketertarikan dan kecintaannya pada sains atau ilmu pengetahuan alam membawanya menjadi seorang peneliti. Salah satu perekayasa di LAPAN Pasuruan.
Bungsu dari tiga bersaudara ini mulai bekerja di LAPAN Pasuruan di Desa Carat, Gempol, sejak 2014. Sudah tujuh tahun berjalan. Statusnya sebagai ASN, fungsional perekayasa pertama.
Saat tahun pertama masuk LAPAN Pasuruan, dia membidangi bagian IT. Sesuai dengan latar belakang pendidikannya. S-1 Ilmu Komputer di UGM Jogjakarta dan S-2 bidang yang sama di Universitas Indonesia, Jakarta.
Tahun berikutnya, Rian menjadi operator, meneliti dan analisis data pengamatan matahari. Dia memegang teleskop portable.
Lalu sejak 2019 dia beralih meneliti atmosfer dari sebelumnya antariksa. Yakni, fokus meneliti dan pengamatan kecemerlangan atau kecerahan langit malam. Lebih umum dikenal dengan istilah sky brightness.
“Menjadi seorang perekayasa itu belajar otodidak. Aktif membaca paper, karena kecintaan akan sains juga. Termasuk pengaruh dari lingkungan tempat bekerja. Karena basic saya di ilmu komputer,” tutur putra pasutri Muthoha dan Yayuk ini.
Kepala LAPAN Pasuruan Dian Yudha Risdianto menuturkan, di LAPAN Pasuruan terdapat delapan perekayasa. Termasuk Rian Pramudia Salasa, juga ada dua orang peneliti.
Dalam UU Nomor 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Dian menyebutkan perekayasa termasuk penelitian dan pengembangan. Ini juga yang dilakukan di LAPAN Pasuruan.
“Rian itu orangnya kalem dan tenang dalam bekerja. Termasuk disiplin terhadap waktu. Dalam riset mempunyai kemampuan bidang pengembangan hardware dan software,” bebernya. (zal/hn)