Dibangun di masa Kerajaan Majapahit, sampai saat ini Candi Jabung di Desa Jabung Candi, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, tegak berdiri. Di balik itu, keberadaan Candi Jabung tidak terlepas dari kisah Candi Wurung. Candi yang gagal dibangun akibat janji tidak ditepati.
————————-
BERBEDA dengan Candi Jabung yang megah berdiri, kondisi Candi Wurung tidak demikian. Hanya berupa fondasi yang menyerupai fondasi candi. Warga sekitar biasa menyebutnya Candi Wurung. Wurung dalam bahasa Jawa artinya tidak jadi atau batal.
Candi ini berada di Desa Asembakor, Kecamatan Kraksaan. Sekitar satu kilometer di sebelah Barat Candi Jabung. Berbatasan dengan Desa Jabung Sisir, Kecamatan Paiton. Tepatnya di Belakang Puskesmas Jabung.
Masyarakat setempat percaya, Candi Wurung adalah cikal-bakal berdirinya Candi Jabung. Seharusnya, di tempat itulah Candi Jabung berdiri. Namun, kemudian tidak jadi.
“Empat tahun lalu dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan sempat datang dan observasi ke Candi Wurung ini. Waktu itu diketahui memang ada fondasi dengan diameter sekitar 4 meter,” terang Bunadin, 52, warga Desa Jabung Candi, Kecamatan Paiton.
Pembangunan candi Wurung sendiri diperintahkan oleh Raja Hayam Wuruk. Sebab, saat itu dia tidak memiliki tempat singgah saat berkunjung ke wilayah Timur. Hayam Wuruk pun memerintahkan Patih Gajah Mada untuk membuat bangunan suci atau tempat singgah.
Di saat bersamaan, Patih Gajah Mada bingung bagaimana caranya membuat tempat singgah atau bangunan suci. Dia lantas mendatangi sumber mata air yang berada di wilayah setempat. Sumber mata air itu saat ini biasa disebut Petirtan Taman Sari yang berada di Desa Tamansari, Kecamatan Kraksaan.

“Di sana, Patih bertemu dengan empat bidadari yang tidak lain adalah Nawang Wulan, Nawang Sari, Nawang Sukma, dan Nawang Sito. Kemudian, Patih Gajah Mada menyampaikan niatnya untuk membuat tempat singgah,” ujar pria yang juga Juru Pelihara (Jupel) BPCB Candi Jabung itu.
Empat bidadari itu pun bersedia membantu Gajah Mada membangun tempa suci atau candi. Namun, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Di antaranya, Gajah Mada harus memenangkan pertarungan dengan empat bidadari tersebut.
“Saat bertarung keempat bidadari ini kalah. Kemudian mereka mau membantu Gajah Mada. Namun, empat bidadari ini juga memberi syarat bahwa tidak boleh ada satu pun orang yang melihat proses pembuatan tempat suci itu,” ujarnya.
Gajah Mada pun menyanggupi syarat yang diberikan keempat bidadari itu. Sehingga, tempat suci atau candi pun dibangun oleh keempat bidadari itu.
Beberapa hari kemudian, Gajah Mada hendak kembali ke Majapahit di Trowulan, Mojokerto. Saat hendak kembali, dia penasaran. Ingin tahu cara empat bidadari itu membangun candi.
“Patih Gajah Mada akhirnya sembunyi-sembunyi melihat proses pembuatan candi itu. Namun, ternyata ketahuan,” katanya.
Para bidadari itu pun kecewa karena Gajah Mada melanggar janjinya. Mereka pun langsung menghentikan pembangunan candi yang saat itu baru sampai fondasi.
Saat itu juga, Gajah Mada langsung meminta maaf. Dia pun minta para bidadari itu mengulang lagi pembangunan tempat suci.
“Candi itu akhirnya gagal dibangun. Beruntung Patih Gajah Mada langsung minta maaf dan minta pembangunan diulang,” tuturnya.
Para bidadari itu pun bersedia. Namun, pembangunan tidak dilakukan di lokasi semula. Melainkan pindah ke Desa Jabung Candi, Kecamatan Paiton. Di sanalah kemudian berdiri Candi Jabung.
Saat ini, di lokasi candi wurung tidak terlihat bekas-bekas adanya candi. Hanya hamparan lahan pertanian dan sebuah pabrik selep yang berada di sebelah barat lokasi tersebut.
Saat Jawa pos Radar Bromo mendatangi lokasi, hanya ada beberapa batu bata yang tersisa. Namun, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
“Ya ini (batu bata Candi Wurung, Red). Bentuknya sama dengan di Candi Jabung, Lebarnya 25 cm, panjang 35 cm, tebal 7 cm. Sisa-sisa bangunannya sudah rata dengan lahan pertanian. Sebab, ini tanah milik warga,” ujarnya saat berada di sekitar lokasi Candi Wurung. (agus faiz musleh/hn)