Stasiun Kraksaan melayani 12 kali perjalanan kereta api saat itu. Yakni, satu kali perjalanan pulang pergi (PP) Kraksaan-Paiton, satu kali PP Probolinggo-Kraksaan, dan empat kali PP perjalanan trem dari Probolinggo ke Paiton.
“Saat itu, letak Stasiun Kraksaan yang telah diresmikan dinilai cukup strategis. Di sisi barat stasiun terdapat beberapa fasilitas. Seperti rumah asisten residen, rumah kepala distrik, Pegadaian, rumah sakit, sekolah sropa, sekolah pribumi, dan kantor pos,” ujarnya.
Penumpang trem PbSM terbagi menjadi dua kelas. Yakni, Kelas 1 dan Kelas 2. Penumpang Kelas 1 untuk pegawai sipil Eropa, pegawai pribumi dengan jabatan tinggi, serta orang kaya golongan Eropa dan Tiongkok. Sedang Kelas 2 digunakan untuk orang Eropa dan Tiongkok yang kurang mampu serta khusus pribumi.
Kelas penumpang berpengaruh pada harga tiket. Pada tahun 1900, penumpang Kelas 2 harus membayar 30 sen untuk perjalanan trem Probolinggo-Kraksaan, 40 sen perjalanan sampai ke Paiton. Sedang dari Kraksaan ke Paiton cukup membayar 15 sen.
Sementara lama perjalanan dari Kraksaan ke Paiton sekitar satu jam. Lalu dari Probolinggo ke Kraksaan waktu tempuh yang dibutuhkan kurang lebih 1 jam lebih 10 menit. Kecepatan rata-rata trem saat itu 5 km/jam.
Barang yang diangkut utamanya adalah gula dari Pabrik Gula Kandangjati serta beberapa produk pertanian dan kebun setempat. Bahkan, pada Agustus 1924, wilayah Kraksaan merupakan salah satu penghasil padi. Hasil tersebut juga menjadi hasil bagi wilayah di Pasuruan.
“Untuk hasil kebun yang banyak diusahakan adalah kapuk randu yang juga diangkut menggunakan trem. Barang yang diangkut selanjutnya dibawa ke Pelabuhan Probolinggo. Sebaliknya, barang-barang kebutuhan masyarakat atau Pabrik Gula Kandangjati dibawa dari pelabuhan dan didistribusikan menggunakan trem,” ujarnya.