25 C
Probolinggo
Wednesday, June 7, 2023

Duka Thomas–Fitria, Korban Banjir yang Kehilangan Dua Keluarganya

Duka mendalam dirasakan pasangan suami istri (pasutri) Thomas Adi Prasetyo dan Fitria Agustina. Mereka kehilangan dua orang tercinta sekaligus saat banjir menerjang kampung mereka, Rabu (5/2). Anak dan orang tua keduanya meninggal terseret banjir?

—————

BANJIR Rabu (3/2) petang itu tidak akan dilupakan oleh warga Desa Kepulungan, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan. Terutama warga Kampung Genuk Watu, Dusun Kepulungan 2.

Hari itu, banjir besar tiba-tiba datang. Bahkan, tanpa diduga sebelumnya. Bagi warga, banjir besar hari itu adalah yang pertama kali terjadi. Warga pun tidak sempat menyelamatkan barang berharga mereka.

Air bah tiba-tiba masuk ke rumah-rumah. Bahkan, tingginya mencapai sebatas dada. Tidak terkecuali di rumah pasutri Thomas Adi Prasetyo, 42 dan Fitria Agustina, 41.

Di rumah mereka saat itu, empat penghuninya sedang di dalam rumah. Yaitu, Sri Susminanti, 70, ibu kandung Thomas. Thomas sendiri dan dua anaknya. Yaitu, Nanda Jenny Arum Sari, 18 dan Mery, 8.

Sedangkan Fitria tidak ada di rumah. Sore itu, dia sedang masuk kerja sif siang di sebuah pabrik cerutu di Kelurahan/ Kecamatan Pandaan. Praktis, Fitria tidak tahu menahu tentang banjir yang terjadi.

DUKA CITA: Gubernur Jatim didampingi Bupati Pasuruan temui keluarga korban meninggal banjir Kepulungan di Genuk Watu, Jumat (5/2). (Foto: Rizal F. Syatori/Jawa Pos Radar Bromo)

Saat itu Thomas bercerita, semuanya terjadi dengan cepat. Air bah tiba-tiba masuk dari belakang rumahnya. Air langsung besar dan setinggi dada. Mereka semua pun langsung terseret banjir.

Saat itu, Thomas sempat memegangi kedua anaknya agar tidak terseret banjir. Namun tidak berhasil. Pegangan tangannya lepas. Mereka semua pun berpencar di tengah arus banjir yang kuat.

Tidak hanya kedua anaknya. Ibunya, Sri Susminanti pun terseret arus saat banjir datang. Thomas bahkan tidak sempat menyelamatkan ibunya.

Seolah musibah belum berhenti. Tak lama berselang, rumah tinggalnya ambruk dan rata dengan tanah. Terseret derasnya air bah yang datang.

Setelah itu, banjir langsung hilang. Thomas mencatat, banjir datang dan pergi secara tiba-tiba. Setelah menyeret rumah beberapa warga, banjir kemudian berangsur surut.

Baca Juga:  Giliran Mensos Risma Tinjau Lokasi Banjir usai Gubernur Khofifah

“Saya selamat karena berpegangan pada pohon manga. Mery anak kedua saya sempat berenang dan pegangan ke pohon juga. Nanda lepas dan tidak dapat pegangan. Dia terseret arus. Ibu masih di rumah. Saya tidak sempat menyelamatkannya karena terseret arus,” ujar Thomas dengan mata berkaca-kaca.

Begitu banjir surut, Thomas pun langsung mencari keberadaan anak pertamanya dan ibunya. Namun putri dan ibunya tidak kunjung ketemu.

Sementara anak keduanya, Mery dievakuasi ke Puskesmas Kepulungan untuk mendapat pertolongan medis. Sebab, dia mengalami luka-luka. Malam harinya, Mery mengungsi ke rumah saudaranya di Lingkungan Sidonganti, Kelurahan Kutorejo, Kecamatan Pandaan.

Fitria sendiri yang sedang masuk kerja, mendapat kabar kampungnya banjir dan rumahnya rata dengan tanah. Dia juga diinformasikan bahwa mertua dan anak pertamanya hilang terseret arus.

Saat itu juga, Fitria pamit pulang. Namun yang ditemuinya hanya rumahnya yang rata dengan tanah. Perempuan itu pun sempat histeris dan berkali-kali pingsan.

Malam itu dia bersama suami dan warga sekitar berusaha mencari dua korban yang hilang. Bahkan, pencarian dilakukan mulai malam sampai pagi tanpa henti.

Dan Kamis (4/2) pagi, pencarian warga berbuah. Nanda dan Sri, ditemukan di dua lokasi berbeda. Sri ditemukan di sungai Dusun Mbetas, Desa Kepulungan. Sementara Nanda ditemukan sekitar 10 kilometer dari rumahnya yaitu di anak kali Wrati di Dusun Tempel, Desa Legok, Kecamatan Gempol.

“Tidak ada firasat apapun yang kami rasakan sebelumnya. Tahu-tahu banjir besar datang. Menyeret ibu dan anak pertama saya,” kata Thomas, dengan wajah sedih dan suara sayu.

Bagi Thomas, banjir besar hari Rabu itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Karena itu, dia tidak menyangka sama sekali.

NENEK-CUCU: Nanda Jenny Arum Sari dan Sri Susminanti semasa hidup. (Foto: Istimewa)

“Saya tinggal di sini sejak kecil sampai berumah tangga. Tiap hari kami tinggal berlima bersama ibu, istri, dan kedua anak saya. Dan banjir seperti ini baru pertama terjadi,” ungkapnya.

Ibunya, menurut Thomas, pada hari itu sedang sakit. Perempuan 70 tahun pensiunan guru di SDN Kepulungan I itu bahkan harus berjalan dengan bantuan tongkat.

Baca Juga:  Kiprah Pelajar MTs Negeri 1 Pasuruan Menangi Lomba Lukis Internasional

Sementara itu, putrinya Nanda Jenny Arum Sari, baru lulus SMKN 1 Gempol jurusan multimedia tahun kemarin. Sebulan terakhir, menurutnya, putrinya itu bekerja sebagai karyawan di sebuah pabrik cerutu di Kelurahan/Kecamatan Pandaan.

“Ibu pensiunan guru, Nanda sebulan terakhir kerja di pabrik bersama ibunya. Saat kejadian dia masuk pagi dan pulang siang. Sedangkan istri saya masuk siang dan pulang malam,” tuturnya.

Saat ini Thomas dan Fitria bertahan tinggal sementara di musala Kampung Genuk Watu. Sesekali keduanya pulang ke rumah saudaranya di Pandaan untuk menjenguk anak keduanya yang masih kecil.

Ketua RT 06 Wakid pun mengaku kehilangan atas musibah itu. “Kami sebagai tetangga juga merasa kehilangan dan duka mendalam atas meninggalnya ibu Sri Susminanti dan Nanda Jenny Arum Sari. Malam hari tetap ada tahlil untuk keduanya di musala,” ucap Wakid.

Kampung Genuk Watu sendiri berada di RT 06/RW 07. Di sana ada 55 KK, masuk Dusun Kepulungan 2, Desa Kepulungan, Kecamatan Gempol. Untuk masuk dan keluar kampung ini, hanya lewat satu akses jalan yang disebut gang buntu.

Sedihnya Fitria Kehilangan Ibu dan Anaknya akibat Banjir Bandang

Posisi kampung itu memang lebih rendah dari jalan raya. Tepatnya berasa di bawah jalan nasional jurusan Surabaya – Malang. Tepat di seberang Sungai Kambeng yang malam itu meluap.

Sisi sebelah barat kampung itu berbatasan dengan jalan nasional. Sebelah timur dan selatan masing-masing berbatasan dengan sungai dan makam. Lalu di sebelah utara berbatasan dengan sawah.

Di kampung ini, melintas dua saluran pembuangan dari Sungai Kambeng. Namun sebelum hujan turun pintu airnya sudah ditutup oleh juru sungai.

“Memang posisi kampung kami lebih rendah dari jalan nasional. Tapi tidak pernah banjir. Dulu pernah banjir di tahun 1970-an. Tapi lebih parah sekarang,” tuturnya. (zal/fun)

Duka mendalam dirasakan pasangan suami istri (pasutri) Thomas Adi Prasetyo dan Fitria Agustina. Mereka kehilangan dua orang tercinta sekaligus saat banjir menerjang kampung mereka, Rabu (5/2). Anak dan orang tua keduanya meninggal terseret banjir?

—————

BANJIR Rabu (3/2) petang itu tidak akan dilupakan oleh warga Desa Kepulungan, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan. Terutama warga Kampung Genuk Watu, Dusun Kepulungan 2.

Hari itu, banjir besar tiba-tiba datang. Bahkan, tanpa diduga sebelumnya. Bagi warga, banjir besar hari itu adalah yang pertama kali terjadi. Warga pun tidak sempat menyelamatkan barang berharga mereka.

Air bah tiba-tiba masuk ke rumah-rumah. Bahkan, tingginya mencapai sebatas dada. Tidak terkecuali di rumah pasutri Thomas Adi Prasetyo, 42 dan Fitria Agustina, 41.

Di rumah mereka saat itu, empat penghuninya sedang di dalam rumah. Yaitu, Sri Susminanti, 70, ibu kandung Thomas. Thomas sendiri dan dua anaknya. Yaitu, Nanda Jenny Arum Sari, 18 dan Mery, 8.

Sedangkan Fitria tidak ada di rumah. Sore itu, dia sedang masuk kerja sif siang di sebuah pabrik cerutu di Kelurahan/ Kecamatan Pandaan. Praktis, Fitria tidak tahu menahu tentang banjir yang terjadi.

DUKA CITA: Gubernur Jatim didampingi Bupati Pasuruan temui keluarga korban meninggal banjir Kepulungan di Genuk Watu, Jumat (5/2). (Foto: Rizal F. Syatori/Jawa Pos Radar Bromo)

Saat itu Thomas bercerita, semuanya terjadi dengan cepat. Air bah tiba-tiba masuk dari belakang rumahnya. Air langsung besar dan setinggi dada. Mereka semua pun langsung terseret banjir.

Saat itu, Thomas sempat memegangi kedua anaknya agar tidak terseret banjir. Namun tidak berhasil. Pegangan tangannya lepas. Mereka semua pun berpencar di tengah arus banjir yang kuat.

Tidak hanya kedua anaknya. Ibunya, Sri Susminanti pun terseret arus saat banjir datang. Thomas bahkan tidak sempat menyelamatkan ibunya.

Seolah musibah belum berhenti. Tak lama berselang, rumah tinggalnya ambruk dan rata dengan tanah. Terseret derasnya air bah yang datang.

Setelah itu, banjir langsung hilang. Thomas mencatat, banjir datang dan pergi secara tiba-tiba. Setelah menyeret rumah beberapa warga, banjir kemudian berangsur surut.

Baca Juga:  Aufklara, Komunitas Penggerak Literasi Sasar hingga Pelosok Pasuruan

“Saya selamat karena berpegangan pada pohon manga. Mery anak kedua saya sempat berenang dan pegangan ke pohon juga. Nanda lepas dan tidak dapat pegangan. Dia terseret arus. Ibu masih di rumah. Saya tidak sempat menyelamatkannya karena terseret arus,” ujar Thomas dengan mata berkaca-kaca.

Begitu banjir surut, Thomas pun langsung mencari keberadaan anak pertamanya dan ibunya. Namun putri dan ibunya tidak kunjung ketemu.

Sementara anak keduanya, Mery dievakuasi ke Puskesmas Kepulungan untuk mendapat pertolongan medis. Sebab, dia mengalami luka-luka. Malam harinya, Mery mengungsi ke rumah saudaranya di Lingkungan Sidonganti, Kelurahan Kutorejo, Kecamatan Pandaan.

Fitria sendiri yang sedang masuk kerja, mendapat kabar kampungnya banjir dan rumahnya rata dengan tanah. Dia juga diinformasikan bahwa mertua dan anak pertamanya hilang terseret arus.

Saat itu juga, Fitria pamit pulang. Namun yang ditemuinya hanya rumahnya yang rata dengan tanah. Perempuan itu pun sempat histeris dan berkali-kali pingsan.

Malam itu dia bersama suami dan warga sekitar berusaha mencari dua korban yang hilang. Bahkan, pencarian dilakukan mulai malam sampai pagi tanpa henti.

Dan Kamis (4/2) pagi, pencarian warga berbuah. Nanda dan Sri, ditemukan di dua lokasi berbeda. Sri ditemukan di sungai Dusun Mbetas, Desa Kepulungan. Sementara Nanda ditemukan sekitar 10 kilometer dari rumahnya yaitu di anak kali Wrati di Dusun Tempel, Desa Legok, Kecamatan Gempol.

“Tidak ada firasat apapun yang kami rasakan sebelumnya. Tahu-tahu banjir besar datang. Menyeret ibu dan anak pertama saya,” kata Thomas, dengan wajah sedih dan suara sayu.

Bagi Thomas, banjir besar hari Rabu itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Karena itu, dia tidak menyangka sama sekali.

NENEK-CUCU: Nanda Jenny Arum Sari dan Sri Susminanti semasa hidup. (Foto: Istimewa)

“Saya tinggal di sini sejak kecil sampai berumah tangga. Tiap hari kami tinggal berlima bersama ibu, istri, dan kedua anak saya. Dan banjir seperti ini baru pertama terjadi,” ungkapnya.

Ibunya, menurut Thomas, pada hari itu sedang sakit. Perempuan 70 tahun pensiunan guru di SDN Kepulungan I itu bahkan harus berjalan dengan bantuan tongkat.

Baca Juga:  Perbaikan Tanggul Sungai di Kedawung Kulon-Plososari Belum Jelas

Sementara itu, putrinya Nanda Jenny Arum Sari, baru lulus SMKN 1 Gempol jurusan multimedia tahun kemarin. Sebulan terakhir, menurutnya, putrinya itu bekerja sebagai karyawan di sebuah pabrik cerutu di Kelurahan/Kecamatan Pandaan.

“Ibu pensiunan guru, Nanda sebulan terakhir kerja di pabrik bersama ibunya. Saat kejadian dia masuk pagi dan pulang siang. Sedangkan istri saya masuk siang dan pulang malam,” tuturnya.

Saat ini Thomas dan Fitria bertahan tinggal sementara di musala Kampung Genuk Watu. Sesekali keduanya pulang ke rumah saudaranya di Pandaan untuk menjenguk anak keduanya yang masih kecil.

Ketua RT 06 Wakid pun mengaku kehilangan atas musibah itu. “Kami sebagai tetangga juga merasa kehilangan dan duka mendalam atas meninggalnya ibu Sri Susminanti dan Nanda Jenny Arum Sari. Malam hari tetap ada tahlil untuk keduanya di musala,” ucap Wakid.

Kampung Genuk Watu sendiri berada di RT 06/RW 07. Di sana ada 55 KK, masuk Dusun Kepulungan 2, Desa Kepulungan, Kecamatan Gempol. Untuk masuk dan keluar kampung ini, hanya lewat satu akses jalan yang disebut gang buntu.

Sedihnya Fitria Kehilangan Ibu dan Anaknya akibat Banjir Bandang

Posisi kampung itu memang lebih rendah dari jalan raya. Tepatnya berasa di bawah jalan nasional jurusan Surabaya – Malang. Tepat di seberang Sungai Kambeng yang malam itu meluap.

Sisi sebelah barat kampung itu berbatasan dengan jalan nasional. Sebelah timur dan selatan masing-masing berbatasan dengan sungai dan makam. Lalu di sebelah utara berbatasan dengan sawah.

Di kampung ini, melintas dua saluran pembuangan dari Sungai Kambeng. Namun sebelum hujan turun pintu airnya sudah ditutup oleh juru sungai.

“Memang posisi kampung kami lebih rendah dari jalan nasional. Tapi tidak pernah banjir. Dulu pernah banjir di tahun 1970-an. Tapi lebih parah sekarang,” tuturnya. (zal/fun)

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru