Setelah dipagar, Anik kebingungan. Jalan utamanya tertutup tembok. Sudah beberapa kali dimediasi, selalu gagal. “Sebetulnya warga mau membongkarnya. Dengan syarat, Bu Anik minta maaf kepada warga. Juga mengganti biaya yang telah dikeluarkan warga untuk membangun tembok dan sumur resapan,” ujar Anton diamini warga lainnya.
Terpisah, Anik mengatakan perselisihan itu terjadi sejak 1997. Diawali dari rumah di samping kirinya. Saluran pembuangan air dari talang rumah itu tidak menggunakan paralon. Ketika hujan, airnya menerjang dinding rumah Anik.
“Kalau satu-dua hari tidak masalah. Tapi, jika tahunan tembok saya bisa rusak. Benar saja, tembok saya retak,” ujarnya didampingi suaminya, Handoko Purnomo, 50. Tidak mau bertengkar dengan tetangga, Anik memilih membuat dinding baru.
Anik mengaku juga mendapatkan perlakuan berbeda dari pemerintah. Katanya, jalan yang tembus ke depan rumahnya pernah diaspal. Tapi, ternyata hanya sampai di batas RT 2. Karenanya, jalan di depan rumanya jauh lebih rendah.
“Dua kali dilakukan pengaspalan. Akhirnya, lebih tinggi yang selatan. Ketika hujan, depan rumah tergenang,” ujarnya.
Demi mengatasi genangan, Anik bersama tetanganya, Imam urunan. Mereka menguruk jalan di depan rumahnya agar tak tergenang. Terhitung sudah empat kali diuruk. “Tapi, karena kami tidak punya uang, tidak ditambah sirtu atau batu dan sebagainya,” ujarnya.
Namun, urukan itu kemudian terbawa air yang datang dari RT 2. Agar tidak semakin parah, Anik berinisitif membuat polisi tidur. “Sudah saya sampaikan jika pihak kompleks harus membangun sumur resapan juga. Jika resapan tidak mampu karena air terlalu banyak, tidak apa-apa airnya ke sini. Namanya juga air, mau gimana lagi,” ujarnya.