PASURUAN, Radar Bromo– Pengeluaran Kota Pasuruan pada tahun lalu masih didominasi besarnya belanja operasi. Sedangkan serapan belanja modal hanya sekitar 9 persen dari keseluruhan belanja daerah. Hal itu menjadi salah satu sorotan DPRD ditengah pembahasan Raperda Pertanggungjawaban APBD 2020.
Ketua Fraksi PKS R Imam Joko Sih Nugroho menyampaikan bahwa belanja daerah masih didominasi belanja operasi. Meliputi belanja pegawai, barang dan jasa, hibah hingga bantuan sosial. Dari alokasi sebesar Rp 868 miliar, serapan belanja operasi senilai Rp 727,8 miliar. Rasionya mencapai 88 persen dari total alokasi belanja daerah.
Sedangkan untuk belanja modal, rasio serapannya hanya sekitar 9 persen dari total anggaran belanja daerah. Dari Rp 122,3 miliar alokasi untuk belanja modal, yang terserap sekitar Rp 76,1 miliar. Kemudian belanja tak terduga, hanya terserap Rp 20,8 miliar dari yang dialokasikan senilai Rp 54,7 miliar.
“Kondisi ini dapat diartikan bahwa 88 persen belanja masih didominasi belanja-belanja yang nilai manfaatnya jangka pendek, kurang dari 12 bulan,” kata dia.
Padahal belanja modal dinilai cukup penting. Seperti belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan dan irigasi hingga aset tetap daerah. “Serapan belanja modal yang nilai manfaatnya jangka panjang hanya terealisasi 9 persen,” kata Imam.
Pihaknya juga menyinggung rasio alokasi anggaran belanja modal yang dinilai sangat kecil. Yakni sebesar 12 persen dari total belanja. “Ironisnya, realisasi serapan anggarannya pun juga sangat rendah sehingga menyebabkan timbulnya Silpa sebesar Rp 46,2 miliar,” bebernya.
Dalam Rapat Paripurna ketiga yang digelar Jumat (23/7), Wali Kota Pasuruan Saifullah Yusuf mengatakan, rasio serapan belanja operasi dengan belanja modal tahun 2020 memang belum ideal. Hal itu dikarenakan sebagian besar belanja modal dialihkan untuk belanja operasi.
“Terutama untuk belanja barang dan jasa dalam penanganan Covid-19,” kata Gus Ipul.
Dia juga memastikan, Pemkot tetap berupaya mengalokasikan anggaran untuk penanganan Covid-19 secara ideal. Akan tetapi, harus diakui bahwa pandemi ini tidak dapat diprediksi kapan akan berakhir. Karena itu, dalam penyerapan anggarannya harus menyesuaikan dengan kebutuhan.
Gus Ipul juga menjelaskan rendahnya serapan belanja modal. Hal itu terjadi lantaran beberapa hal. “Antara lain disebabkan tidak terealisasinya pembebasan lahan JLU, adanya gagal lelang dan tertundanya kegiatan pembangunan fisik infrastruktur yang bersumber dari anggaran DAK,” pungkasnya. (tom/fun)