KRAKSAAN, Radar Bromo – Kabupaten Probolinggo masih menyisakan kasus stunting. Tercatat, ada 12.833 balita atau 16,24 persen masuk kategori stunting. Lokus desa stunting pun diperluas menjadi 40 desa.
Jumlah ini diketahui dari hasil double check dan compare data hasil event “Bulan Timbang” yang dilaksanakan serentak oleh tenaga kesehatan dan kader Posyandu sejak tahun 2019. Dari data itu, diketahui kasus stunting di Kabupaten Probolinggo pada 2019 turun menjadi 16,37 persen dari tahun sebelumnya.
Jumlahnya mencapai 13.206 dari 80.665 balita yang ditimbang, dengan menyisakan 5.569 balita yang tidak ditimbang. Lalu pada 2020, kasus stunting turun lagi menjadi 16,24 persen atau 12.833 dari 79.497 balita yang ditimbang.
”Pada tahun 2018 ada 38,9 persen dari total populasi anak di Kabupaten Probolinggo dinyatakan stunting. Alhamdulillah, kasus stunting terus dapat ditekan dan tersisa 16,23 persen atau 12.933 balita,” kata Kepala Bappeda Kabupaten Probolinggo Santiyono.
Santiyono menjelaskan, target penurunan angka stunting nasional sampai tahun 2024 sebesar 14 persen. Namun, menurutnya, sulit untuk menargetkan tahun ini angka stunting turun berapa.
Yang bisa dilakukan yaitu, memberikan perhatian khusus dalam penanganan gizi anak. Apalagi, sampai ini menurutnya, masih ada balita yang belum datang ke Posyandu atau belum ditimbang.
“Sasus stunting tidak bertambah saja itu sudah luar biasa. Jadi, kita fokus pada upaya mencegah bertumbuh atau bertambahnya kasus stunting itu sendiri,” terangnya.
Pencegahan dan penanganan kasus stunting, dikatakan Santiyono, tidak hanya menjadi ranah Dinas Kesehatan (Dinkes). Dinkes bahkan hanya bertanggung jawab sekitar 30 persen. Selebihnya 70 persen merupakan peran OPD dan pihak terkait. Mulai dari Desa, Dinas PMD, orang tua, pengadilan agama, Kementerian Agama, tokoh masyarakat, dan semuanya.
Sementara itu, Bupati Probolinggo P. Tantriana Sari mengatakan, Kabupaten Probolinggo telah ditetapkan sebagai salah satu lokus penurunan angka stunting nasional. Sejak tahun 2018 ditetapkan 10 lokus desa stunting, kemudian tahun 2020 ada 18 desa lokus dan tahun 2021 ada 44 lokus. Lalu, pada tahun 2022 nanti akan bertambah menjadi 54 desa lokus yang difokuskan dalam upaya penurunan dan pencegahan stunting.
“Yang perlu dipahami, stunting hampir tidak ada kaitannya dengan tingkat daya beli masyarakat atau kata lainnya tidak terkait dengan tingkat kemiskinan. Stunting dan gizi buruk lebih berkaitan kepada kesalahan pola asuh kepada anak. Terutama dalam hal konsep pemenuhan kebutuhan gizi anak dalam usia tumbuh kembang,” terangnya.
Pada salah satu hasil wawancara tentang tingkat kemampuan daya beli masyarakat, menurut Tantri, ternyata kemampuan keluarga ini luar biasa. Yakni, antara menengah sampai di atas rata-rata.
Salah satu poinnya adalah kemampuan para orang tua dalam memberikan uang jajan bagi anak-anaknya. Yang faktanya, kemudian dibelanjakan untuk makanan-makanan yang instan dan nilai gizinya kurang.
“Anggapan para orang tua saat ini, pembelanjaan semacam itu dianggap sudah dapat memenuhi gizi anak. Pemahaman seperti ini harus kita luruskan bersama. Dengan spend money yang cukup banyak itu, tidak kemudian otomatis dapat memenuhi asupan gizi anak dan masyarakat. Harus ada penguatan pemahaman tentang kebutuhan gizi di lingkungan masyarakat,” ungkapnya. (mas/hn)