Hampir semua orang yang kutemui berkata bahwa rumah sepi berlantai dua yang terlihat sederhana di ujung pertigaan jalan raya itu angker. Konon pemiliknya adalah sepasang suami istri yang gemar membunuh. Bagiku tentu saja itu terdengar rada mengada-ada.Rumah itu terlihat cukup terawat. Dari jauh tak ada tanda-tanda pernah ditinggali psikopat.
——————————————————————————————————
RUMAH itu selalu terlihat sama setiap waktu, setidaknya selama aku di sini. Temboknya bercat kuning, sedikit mengelupas seperti tembok rumah pada umumnya yang terlalu sering dimamah hujan. Aku banyak memerhatikan dari kejauhan. Sama sekali tak ada keanehan. Sama seperti rumah pada umumnya.
Yang jadi pertanyaan adalah; saban hari tak pernah ada orang yang keluar masuk ke rumah itu. Aku sudah seminggu lebih di sini. Tinggal di rumah orang tuaku yang berjarak dua kilometer dari rumah itu. Aku
mengamatinya diam-diam sambil lalu memikirkan istriku yang kurasa amat sangat menyebalkan.
Selentingan lain adalah, pasutri di rumah itu membunuh sepasang gadis kembar. Seorang berhasil menyelamatkan salah satunya, sementara yang lain dimutilasi tanpa ampun. Gadis itu entah cucu atau anaknya sendiri. Tak pasti pula siapa orang yang menyelamatkan.
Aku asyik memerhatikan dan memikirkan kemungkinan-kemungkinan di rumah itu. Aku mengendap-endap dengan pikiran yang telah berantakan. Belasan tahun bekerja kantoran di kota, istriku selalu memakai sebagian besar gajiku untuk membeli perhiasan. Mungkin hanya sekitar lima persen gajiku yang dipakai untuk biaya makan.
Dan entah mengapa aku hanya mampu memedam kejengkelanku, hanya membisu seperti pengecut. Aku tak tahu mengapa. Barangkali karena senyum manisnya atau apalah yang menyihirku. Aku hanya selalu menurutinya selama belasan tahun. Memberi semua uangku, lalu diam.