Oleh: Emroni Sianturi
Bukankah kematian adalah jalan menuju kebahagiaan, tapi mengapa sejumlah orang menghadapinya dengan perasaan penuh kengerian? Lebih tepatnya menunda-nunda jalan kebahagiaan itu?
*****
Usiaku sudah mendekati masa tua. Rambut yang dulunya hitam kemilau nan panjang, satu persatu berubah keperakan. Meski awalnya tak sampai kelihatan mata oleh anak, keponakan, dan tetangga yang biasa berkunjung ke rumah. Hingga kemudian sampai menjalari kepala lalu mencabutnya sembari bercerita.
Di halaman rumah yang panjangnya kira-kira 2 meter dan lebarnya 6 atau 7 meter, lantai keramik tua berwarna keemasan. Hampir setiap malam, aku, keponakan, dan tetangga yang biasa kami panggil Mbak Ati yang rumahnya berhadapan dengan rumahku berkumpul di sini. Lelakinya sama dengan lelakiku yang tua, seorang nelayan yang tak kenal baca dan tulis.
Malam ini kami kembali berkumpul, seperti rutinitas saja selepas isya. Di halaman rumah yang juga turut menua bersama kepulangan orang tuaku, kakak sulungku, serta di malam yang sakral ini, tiga tetangga berpulang keharibaan-Nya.
Yang pertama di selatan rumah, lelaki paruh baya yang tinggal bersama ibunya, yang ditinggal pulang kekasihnya bertahun yang lalu. Ia turut berpulang kini, barangkali menemui si bapak bercerita tentang hal-hal yang belum pernah ia tahu.
Lalu di timur, cukup dekat dengan rumahku. Dari lorong gang, melewati enam rumah, juga meninggal perempuan tua dengan 3 anak serta 5 cucu.
Dan terakhir di daerah utara rumahku, cukup jauh dari kedua tempat duka itu. Perempuan yang lama menahan derita karena seakan tidak menemukan obatnya. Usianya sebaya denganku, beranak dua dan cucunya laki-laki yang tampak aneh dibanding teman-teman sebayanya. Menurut tetangga sekitar, anak itu adalah anak pilihan.