Oleh: Reni Asih Widiyastuti
SEBELUM meninggal, ibu sering berpesan agar aku selalu menjaga hubungan baik dengan semua saudari tiriku. Dan setiap ibu menyampaikan pesannya itu, aku selalu menganggukkan kepala sebagai tanda setuju.
Tetapi ibu tak pernah mengecek apakah aku dan saudari tiriku benar-benar melakukannya atau tidak. Yang ia tangkap setiap kali kami berkumpul adalah sebuah keharmonisan tanpa ada cela sedikit pun.
Suatu hari ketika makan malam baru saja dimulai, salah satu saudari tiriku tiba-tiba menceletuk.
“Rani itu selalu pulang pagi sehabis kuliah. Andaikan Ayah menyewa mata-mata bayaran, Ayah pasti tahu kelakuan busuknya selama ini. Untuk apa pulang pagi, sementara ibu selalu memasak yang enak-enak buat kita.”
Aku menatapnya penuh amarah. Sementara senyum licik menghiasi bibirnya. Kulirik bapak sekilas. Di wajahnya tergambar satu ekspresi kecurigaan. Namun sejurus kemudian, dia tersenyum padaku. Memberi nasihat-nasihat agar jangan sampai aku terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak baik.
Jujur saja, ingin rasanya kutonjok hidung saudari tiriku itu hingga berdarah. Tetapi jelas itu urung kulakukan. Hanya akan menambah masalah saja apabila itu sampai terjadi.
Begitu juga dengan ibu. Seperti biasa, ia tetap tenang menghadapi situasi macam apapun. Sambil mengelus lembut tangan kiriku yang terkepal di atas meja, ia menggeleng pelan dengan tatapan penuh keteduhan. Hal itu lambat laun mampu membuat emosiku mereda. Jika bukan karena ibu, mungkin ia sudah kuhabisi!
Makan malam berlanjut. Suara sendok dan garpu saling beradu, memukul-mukul dada piring yang bidang. Saudari tiriku yang satu lagi tak mengucapkan kalimat apa pun. Tetapi turut tersenyum sinis.