Oleh: Moehamad R.
Pagi itu sangat cerah. Matahari dengan gagahnya menampakkan muka. Tidak lagi malu dan bersembunyi di balik awan gelap seperti kemarin.
Anjing anjing menggonggong, burung burung bernyanyi, sapi-sapi menggema, dan ular-ular mendesis. Semuanya riang menyambut hari yang cerah.
Ya, hari itu suasana berjalan jauh lebih cerita dari biasanya. Hewan-hewan yang tinggal di hutan semuanya riang. Ada yang mencari makan untuk anaknya, ada juga yang hanya duduk mencari kutu seperti monyet dan kawanannya. Tak ada yang spesial hari itu, selain cuaca yang cerah.
Di bawah pohon durian terlihat kancil sedang bersiap berburu mentimun. Ia sudah rapi dan tak lupa bermasker, seperti akan pergi kondangan ke rumah mantannya yang menikah dengan kancil lain tahun lalu. Menyambut hari yang cerah, ia tidak membawa payung. Hanya, memakai sepatu takut kakinya kepanasan saat menginjak aspal.
“Hati-hati, katanya kambing jalannya banyak yang rusak. Gara-garanya hujan lebat kemarin itu mengeruk aspal sampai bolong-bolong. Tadi dia lewat di jalan yang biasa kamu lewati,” kata istri si kancil mengingatkan suaminya agar waspada.
Tapi kancil tak menghiraukan. Ia keburu berangkat dan lari sekencang-kencangnya. Yang terucap pada bibirnya hanya seutas kata pamit. “Aku pergi dulu, jaga anak-anak. Pasti aku bawa makanan,” teriaknya sambil memacu langkah kakinya semakin jauh dan menjauh.
Di perjalanan, kancil tidak begitu memperhatikan jalan. Bahkan, sapaan dari kerbau tak dihiraukannya. Ia asik memandang dedaunan yang menyemi setelah sekian bulan mengering tak tersirami air. Hujan membawa kehidupan tersendiri bagi tumbuhan. Semua di sekelilingnya mulai menghijau.
“Aku sudah sehat Cil, aku tidak lagi kering. Aku sudah terisi air,” kata pohon randu yang selama ini ditinggal daun karena berguguran. Randu pun kini tampak hijau dan subur.
Kancil pun makin asyik melihat suasana hijau. Hingga dia tak begitu memperhatikan jalan. Ia fokus menikmati udara pagi dengan suasana sejuk. Sambil mengenang masa kecilnya saat diajak keliling hutan oleh ayahnya. Momen itu sangat spesial baginya. Sebab, itu pengalaman pertama mencari makan bersama orang tuanya.
“Ingat-ingatlah, saat ayah sudah tidak ada dan kamu sudah berkeluarga, carilah tempat makan di sini,” tutur ayahnya saat itu sampai di hutan rimbun yang menyediakan beragam makanan.
Kancil terus saja berjalan semakin jauh dari pohon durian tempatnya tinggal. Sembari melamun, sapaan dari penghuni hutan lain seperti bebek, kucing, anjing, dan kelinci tak dihiraukannya. Ia terus saja melangkahkan kaki semakin jauh. Seperti hayalannya yang makin jauh.
Lalu tiba-tiba, braaaakkkk. Kakinya masuk ke kubangan air dan ia pun terpental. Saking kencangnya laju larinya, kancil terpental sejauh 5 meter. Saat sadar, dia pun meringis kesakitan. Kaki kanannya patah dan bercucuran darah.
“Aduh, adudududuhhh,,, kakiku,” jeritnya kesakitan.
Namun, kondisi jalan sedang sepi. Sepatu mengilat yang dipakainya tadi, kini kotor terkena lumpur. Ia pun terus meringis dan menangis kesakitan.
“Aduh kok tiba-tiba ada jalan rusak sih. Kemarin masih bagus. Sekarang kok rusak. Aduh,” gerutunya.
Dengan terpincang-pincang, kancil kembali ke rumahnya. Selama perjalanan pulang, ia mengambil sepotong kayu untuk penopang kakinya yang patah. Selama itu pula, ia berpikir keras. Siapa kiranya yang bertanggung jawab di dunia perhewanan saat ada jalan rusak.
Dalam pikirannya, ia menggerutu. Bagaimana bisa jalan yang tadinya bagus, rusak dalam semalam hanya karena tergerus hujan? Bagaimana bisa jalan yang sudah puluhan tahun tidak pernah rusak itu tiba-tiba rusak? Dan siapa yang bisa memperbaiki?
Pikiran-pikiran itu terus saja melintas di benaknya. Sambil meringis, ia tidak menemukan jawaban. Tiba-tiba ia teringat Pak Gajah. Gajahlah yang dituakan di hutan.
Ia pun berencana meminta pendapat gajah. Maka dengan tergopoh-gopoh, kancil menuju rumah gajah yang lokasinya tidak jauh dari ia berada sekarang. Sekitar 20 menit, ia telah sampai.
“Pak Gajah, saya terperosok ke jalan berlubang dan jatuh. Ini siapa yang harus tanggung jawab. Padahal, selama ini kita iuran. Tapi ada jalan berlubang kenapa tidak langsung ditambal,” katanya dengan wajah pucat menahan sakit.
“Ini masa pandemi Cil. Anggaran semua itu di-refocusing. Jadi anggaran jalan yang harusnya untuk perbaikan tinggal sedikit,” jelas Pak Gajah.
“Iya mbok jangan begitu. Sisakan juga untuk perbaikan jalan toh Pak. Jalan ini penting lo. Jalan ini fungsinya sangat banyak, mulai dari penggerak ekonomi hutan, peningkatan SDH atau sumber daya hewan di hutan, juga untuk kesehatan,” ungkap kancil mencoba mendebat pak gajah.
“Sek sek sek, bagaimana ceritanya kok jalan untuk penggerak ekonomi, peningkatan sumber daya hewan dan juga kesehatan. Wong cuma jalan lo Cil,” timpal pak gajah.
Mendengar ucapan itu, sembari mengangkat dada meskipun pucat, kancil mencoba menjelaskan. Katanya, jalan jadi penggerak ekonomi karena jalan yang bagus akan memudahkan proses pencarian makan warga hutan. Dengan jalan yang bagus, warga hutan akan gampang mencari makan. Yang kelebihan daging bisa dijual, yang kelebihan timun juga bisa dijual atau yang lainnya.
“Peningkatan sumber daya hewan misalnya, anak-anak kita kalau belajar berburu untuk mencari makanan akan mudah. Tidak ada yang sampai cedera seperti saya. Mereka akan cepat memahami apa yang diajarkan,” tuturnya.
Lalu menurut kancil, jalan yang bagus bermanfaat untuk kesehatan. Sebab, bisa menyelamatkan banyak hewan. Misalnya ketika istri Gajah butuh pelayanan kesehatan, bisa cepat sampai di Puskeswan, pusat kesehatan hewan. Sakit parah atau mau melahirkan, bisa sampai tepat waktu ke Puskeswan. Tidak terganggu oleh jalan rusak.
“Coba kalau jalannya rusak dan istri Pak Gajah mau melahirkan. Pastinya terganggu. Bisa-bisa melahirkan di jalan. Apa gak kasihan melahirkan di jalan? Atau sakit keras dan tidak bisa sampai ke rumah sakit dan tak tertolong?” tuturnya.
Mendengar penjelasan itu, pak gajah pun manggut-manggut. Dia berjanji akan berembuk dengan sesepuh hutan yang lain. Porsi anggaran pandemi akan disamakan dengan anggaran yang lain. Namun, tetap mempertimbangkan asas prioritas.
“Kalau begitu, nanti kami rapatkan lagi Cil. Semoga saja anggarannya cukup,” jawab Pak Gajah. (*)
*) penulis, tinggal di Pasuruan